BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pendidikan merupakan faktor penting yang mempunyai andil
besar dalam memajukan suatu bangsa, bahkan peradaban manusia. Tujuan pendidikan itu merupakan
tujuan dari negara itu sendiri. Pendidikan yang rendah dan berkualitasakan terus mengundang
para penjajah, baik penjajahan secara fisik maupun non fisik, seperti
penjajahan intelektual, pemikiran, ekonomi, sosial, politik dan agama. Hal ini senada dengan ungkapan
“kebodohan bukanlah karena penjajahan tetapi kebodohanlah yang
mengundang penjajah”.
Bangsa
Indonesia merdeka setelah proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945.Kemerdekaan
ialah terbebasnya suatu bangsa dari belenggu penjajahan. Bangsa yang sudah
merdeka dapat leluasa mengatur laju bangsa dan pemerintahan untuk mencapai
tujuannya. Benarkah demikian? Kemerdekaan
tidak sepenuhnya menyelesaikan berbagai persoalan negara.Kemerdekaan politik
sesudah masa penjajahan oleh pemerintah Jepang dan Belanda itu lebih mudah dicapai
dibandingkan dengan rekonstruksi kultural masyarakat danrenovasi system
pendidikan kita.
Mengamati perjalanan sejarah pendidikan pada masa
penjajahanBelanda dan Jepang sungguh menarik dan memiliki proses yang amat
panjang.Belanda
yang menduduki Indonesia selama 3 ½ abad dan Jepang selama 3 1/ 2 tahun meninggalkan
kesengsaraan, mental dan kondisi psikologis yang lemah. Dengan misi gold,
glory dan gospelnya mereka mempengaruhi
pemikiran dan ideologi dengan doktrin-doktrin Barat.
Bangsa
Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan : praktek
pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC,
pendidikan kolonianl Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang, dan
pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono: 1985). Berbagai praktek
pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa praktek pendidikan yang telah dilaksanakan
oleh bangsa Indonesia adalah: pendidikan modern zaman kolonial Belanda, praktek
pendidikan zaman kemerdekaan sampai pada tahun 1965, yang sering kita sebut
sebagai orde lama, praktek pendidikan dalam masa pembangunan orde baru, dan
praktek pendidikan di era reformasi sekarang.
Pendidikan Pada Masa
Kemerdekaan telah mengalami perkembangan pendidikan semenjak kita mencapai
kemerdekaan memberikan gambaran yang penuh dengan kesulitan. Pada
masa ini, usaha penting dari pemerintah Indonesia pada permulaan adalah tokoh
pendidik yang telah berjasa dalam zaman kolonial menjadi menteri
pengajaran.Dalam kongres pendidikan, Menteri Pengajaran dan Pendidikan
tersebut membentuk panitia perancang RUU mengenai pendidikan dan
pengajaran. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk sebuah system pendidikan yang
berlandaskan pada ideologi Bangsa Indonesia sendiri.
Praktek pendidikan zaman
Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak
dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Praktek pendidikan zaman kolonial
Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi
secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan praktek pendidikan Barat
ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu
menjabat sebagai "PANGREH PRAJA". Praktek pendidikan kolonial ini
tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan.
Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas.
Dengan demikian,
sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat
melangsungkan penjajahannya. Yakni, menciptakan tenaga kerja yang bisa
menjalankan tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan
kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan untuk orangpribumi.Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia.
kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan untuk orangpribumi.Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia.
Pada zaman Jepang meski
hanya dalam tempo yang singkat, tetapi bagi dunia pendidikan Indonesia memiliki
arti yang amat signifikan. Sebab, lewat pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan
disatukan tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing dengan pengantar
bahasa Belanda. Satu sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan setelah
bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah
Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan pada
budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan
warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung jawab dan siap
sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara.
Praktek pendidikan selepas penjajahan
menekankan pengembangan jiwa patriotisme. Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa dianalisis bahwa praktek
pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial,
politik, ekonomi maupun lingkungan lainnya. Pada masa ini, lingkungan politik
terasa mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan
nasionalisme terasa berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu
sendiri.Berdasarkan hal tersebut di atas maka kami menulis makalah mengenai
“ SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA PADA MASA BELANDA, JEPANG DAN SETELAH
KEMERDEKAAN “
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar
belakang yang dipaparkan di atas, maka kami merumuskan, pokok permasalahan :
1.
Bagaimana Konsep Pendidikan di Indonesia?
2.
Bagaimanakah sistem pendidikan
Indonesia pada masa Belanda?
3.
Bagaimanakah sistem pendidikan
Indonesia pada masa Jepang?
4.
Bagaimanakah sistem pendidikan
Indonesia pada masa setelah kemerdekaan (Orde Lama,Orde Baru,dan
Reformasi)?
3. Tujuan dan Manfaat penulisan
a. Tujuan Penulis :
Untuk mendeskripsikan perkembangan dan perbedaan
system pendidikan yang telah berlaku di Indonesia khususnya pada masa
pendudukan Jepang, Belanda, dan setelah kemerdekaan.
b. Manfaat Penulisan
Semakin menambah pengetahuan kami tentang perkembangan
dan perbedaan system pendidikan yang telah terjadi di Indonesia pada setaip
dekade pemerintahan. Selain itu, juga melatih kami dalam membuat atau
menuliskan suatu karya ilmiah. Juga diharapkan dapat memperkaya ilmu
pengetahuan yang ada, terutama bagi mahasiswa.
4. Metodologi Penulisan
Metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk
mencapai suatu tujuan misalnya untuk menguji serangkaian hipotesa, dengan
menggunakan teknik serta alat – alat tertentu. Dalam penulisan ini digunakan
metode kepustakaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Pendidikan di Indonesia
Menurut SK Dirjen Dikti
No.32/DJ/Kep/1983 menyebutkan bahwa komponen mata kuliah dasar umum (pendidikan
umum) diarahkan untuk melengkapi pembentukan kepribadian bidng dengan
pengembangan kehidupan pribbadi yang memuaskan,keanggotaan keluarga yang
bahagia,dan masyarakat yang produktif.
Dalam buku Sistem
Pendidikan Tenaga Kependidikan menyatakan bahwa komponen dasar umum diarahkan
kepada pembentukan warga Negara pada umumnya dengan kompetensi
personaal,sosial,serta kultural.
Dalam SK Mendiknas
no.008-E/U/1975 menyebutkan bahwa Pendidikan Umum ialah pendidikan yang
bersifat umum,yang wajib diikuti oleh semua siswa dan mencakup program
Pendidikan Moral Pancasila yang berfungsi bagi pembinaan warga negara yang
baik.
Pendidikan Umum itu
memiliki beberapa tujuan:
a.
Membiasakan siswa berfikir objektif,kriitis dam
terbuka.
b.
Memberikan pandangan tentang berbagai jenis nilai
hidup,seperti kebenaran,keindahan dan kebaikan.
c.
Menjadi manusia yang sadar akan dirinya,sebagai
makhluk,sebagai manusia,dan sebagai pria dan wnita,serta sebagai warga negara.
d.
Mampu menghadapi tugasnya,bukan saja menguasai profesinya,tetapi karena mampu mengadakan
bimbingan dan hubungan sosial yang baik dalam lingkungannya.
Dengan demikian Pendidikan
Umum membina pribadi yang utuh,terampil berbicara,menggunakan lambang dan
isyarat,mampu berkreasi dan menghargai hal-hal yang secara menyakinkan
estetika, ditunjang oleh kehidupan yang berharga dan disiplin dalam hubungan
pribadi dan pihak lain memiliki kemampuan membuat keputusan yang
bijaksana,serta memiliki wawasan yang integral.
Adapun Makna-makna Program
Pendidikan Umum Indonesia berkaitan dengan pola-pola pada materi pokok adalah
sebagai berikut:
1.
Pola Simbolik
Dengan pola ini siswa
dibimbing untuk dapat memiliki kemampuan dalam berbahasa,membaca
angka-angka,mengenal tanda-tanda hitung,dan dapat menggunakan simbol-simbol
untuk mengepresikan makna-makn yang terstruktur.Pola ini dapat dicapai dengan
mengajarkan pelajaran Bahasa dan Matematika.
2.
Pola Empiric
Dalam pola ini siswa
dibimbing untuk dapat memilki kemampuan dalam mendeskripsikan fakta-fakta
empiris,membuat generalisasi atau formulasi teoritis tentang gejala-gejala
alam,sosial dan jiwa manusoia.Pola ini dapat di penuhi dengan mengajarkan
Fisika,Biologi,Psikologi,dan Ilmu-ilmu Sosial.
3.
Pola Estetik
Dalam pola ini siswa
dibimbing untuk dapat memiliki ke mampuan berapresiasi dan berkreasi.Dengan
demikian siswa mampu mengapresiasi berbagai objek visual yang mengandung
nilai-nilai estetik dalam lingkungan kehidupannya,serta mampu berkreasi denngan
memenuhi syarat-syarat estetika yang telah didalaminya.Pola ini dapat dipenuhi
dengan mengajarkan seni,kesusatraan,dan filfasat.
4.
Pola Synoetik
Dengan pola ini siswa
dibimbing untuk dapat memiliki kemampuan memandang dan menyadari keberadaan
nilai-nilai secara langsung dalam arti dapat merasakan dan menyadari bahwa
keberadaan dirinya diberi arti oleh keberada orang lain
dilingkungannya,sehingga siswa mampu menghayati tentang keberadaan hidup
bersama dalam maasyarakat.Pola ini dapat diterapkan dengan mengajarkan
filsafat,kesenian,pendidikan agama,dan ilmu sosial.
5.
Pola Etika
Dalam pola Etika siswa
dibimbing untuk dapat memiliki kemampuan tentang moralitas,sehingga dalam
hidupnya senantiasa bertindak dengan memperhatikan pertimbangan
nilai,norma,etika,sopan-santun dan hukum positif yang ada dan dijujung tinggi
oleh masyarakat.Hal itu akan menjadi pola fikir ,sikap dan tindakannya bersifat
etis.Pola ini dapat dipenuhi dengan memberikan etika,moral,filsafat dan agama.
6.
Pola Synoptik
Pola ini menentukan terbentuknya kemampuan dalam
mengambil keputusan dengan mempertimbangkan nilai-nilai n=baik dan buruk pada
persoalan yang dihadapinya.Dalam pola ini ternasuk kemampuan meyakini dan
mengimani sesuatu pandangan hidup.Pola ini dapat dipenuhi dengan memberikan
pengajaran Agama,moral,sejarah,kebudayaan,dan filsafat.
B. Pendidikan Pada Masa Kolonial Belanda
Pemerintah kolonial Belanda
mempunyai ambisi dan strategi sendiri ketika menerapkan pola pendidikan modern.
Pada awalnya, Pemerintah Kolonial Belanda hanya memberikan model pendidikan
pada anak bangsa yang berupa sekolah ongko
loro dan ongko siji. Sekolah ini bertujuan agar anak bangsa mendapatkan
pendidikan satu tahun dan tiga tahun saja, di mana materi yang diberikan berupa
ketrampilan berhitung, membaca, dan menulis sederhana. Ketrampilan ini jelas
dibutuhkan untuk membantu tugas-tugas administrasi pemerintah Kolonial Belanda
sendiri. Hal ini dilakukan karena di satu sisi pemerintah Belanda ingin
mendapatkan tenaga administrasi level bawah yang bergaji rendah, di sisi lain
Belanda tidak ingin memberikan sepenuhnya ilmu pengajaran dan pengetahuan bagi
anak bangsa yang status sosialnya dipandang rendah. Pemerintah Kolonial Belanda
memberikan persyaratan bagi siswa yang masuk di sekolah ongko siji dan loro.
Syarat utamanya adalah latar belakang keningratan bagi siswa-siswanya.
Namun demikian, setelah
munculnya politik etis yang dimotori van Deventer dan Baron van Hoevel, maka
terjadi perubahan kebijakan pendidikan di Indonesia. Sistem persekolah dan
kurikulum mengalami banyak perubahan. Semula jenjang pendidikan terlama di
bangku sekolah dasar hanya tiga tahun, dengan kebijakan baru berubah menjadi 5
(lima) tahun dan 6 (enam tahun). Model persekolahan ini dinamakan schakel
school dan HIS (Holland Inlandsche School). Materi pengajaran mengalami
perubahan yang cukup banyak. Tingkat kesulitan mengalami peningkatan dan tidak
setiap anak bangsa bisa menjadi siswa di sekolah ini. Kedua sekolah ini tetap
mempertahankan sistem lama dalam penerimaan siswa baru. Mereka yang berasal
dari kalangan rakyat biasa tetap tidak diperbolehkan memasuki jenjang
pendidikan HIS. Mereka yang berasal dari kalangan priyayi rendah, tentu saja
harus ngenger dahulu agar dapat diterima menjadi siswa sekolah ini. Bahasa
Belanda menjadi bahasa pengantar dalam kegiatan belajar di sekolah ini.
Sebagai pembanding,
pemerintah Kolonial Belanda mendirikan pula ELS (Eropesch Lagere School)
sebagai sekolah dasar untuk anak-anak eropa dan China Lagere School bagi
anak-anak keturunan Tionghoa. Sekolah ini jelas bukan milik kaum pribumi yang
secara sosial berada di bawah posisi orang Eropa dan China.
Di tingkat lanjut,
pemerintah Kolonial Belanda mendirikan MULO yang setingkat SMP jaman sekarang.
Kurikulum yang dipergunakan semakin lengkap. Bahasa Belanda tetap menjadi
bahasa pengantar. Selain itu diajarkan bahasa Perancis dan Inggris. Tidak
setiap anak bangsa bisa memperoleh pendidikan tingkat ini. Banyak kendala
rasialis dan sosial yang menghalangi anak bangsa untuk memperoleh kesempatan
ini. Jika dibandingkan jaman sekarang lulusan MULO sebanding kualitasnya dengan
lulusan S-1 sekarang. Bagi lulusan MULO maka ia berhak mendapatkan tempat
pekerjaan di struktur kepegawaian negeri maupun militer pemerintah Kolonial
Belanda.Pengembangan aspek kepegawaian dan sistem birokrasi pemerintah Kolonial
Belanda yang semakin lengkap, jelas membutuhkan pegawai lokal yang lebih
cerdas. Oleh karena itu, dengan jumlah lulusan MULO yang tidak banyak maka
kebutuhan akan jumlah kepegawaian itu dapat terpenuhi.
Pada level yang tertinggi,
kebijakan Kolonial Belanda menjelang pertengahan abad ke-20 mulai mendirikan
sekolah setingkat SLTA sekarang dengan sebutan AMS (Algemens Middlebars School)
dan HBS (Hoogere Bourgere School). Minimal anak bangsawan tinggi yang
diperbolehkan memasuki jenjang sekolah ini. Untuk AMS ditempuh selama 3 (tiga)
tahun, sedangkan untuk HBS ditempuh 5 (lima) tahun. Siswa yang bersekolah di
HBS secara sosial ia adalah pribumi yang sudah disamakan derajatnya dengan
bangsa Eropa/Belanda. Pada pendidikan tingkat ini, kualitas menjadi sebuah
ukuran mutlak. Oleh karena pola pendidikannya yang disiplin dengan kurikulum
yang jelas maka dengan sendirinya menghasilkan alumni yang disegani oleh siapa
saja.
Para alumninya antara lain: Soekarno, Hatta,
Sutan Syahrir, Syafruddin Prawiranegara, Soetomo, Cipto Mangunkusuma, A. Rivai,
Suwardi Suryaningrat, dan sebagainya.
Sangat jelas bahwa sistem
pendidikan masa Kolonial Belanda sangat diwarnai oleh dualisme pendidikan. Di
satu sisi, adanya politik etis tersebut pemerintah menyetujui untuk memberikan
politik balas jasa bagi pribumi dengan memberikan kesempatan memperoleh
pendidikan. Namun di sisi lain, pribumi tetap dipelihara seperti sediakala.
Pendidikan yang diberikan pada pribumi jelas tidak sama dengan pendidikan yang
diberikan pada anak-anak Belanda, Tionghoa, dan Eropa lainnya. Hanya anak kaum
bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki sekolah seperti MULO, AMS, dan
HBS. Akibatnya pemerintah tetap melestarikan rust en orde, yaitu sebuah
kestabilan politik di bawah kendali ratu Belanda, sehingga dapat menekan
benih-benih ketidakpuasan dari kaum intelektual yang mungkin terlahir dari
sistem dan kebijakan Belanda sendiri.
Betapa sulitnya kaum
pribumi untuk menaiki tangga mobilitas sosial. Hambatan sosial yang berupa
latar keningratan dan kebangsawan menjadi batu sandungan yang berat bagi anak
bangsa yang ingin memperbaiki nasib diri dan bangsa. Bagi mereka yang tak
sempat mengenyam bangku AMS dan HBS, tentu saja lebih memilih memasuki jenjang
pendidikan guru yang setingkat dengan MULO dan AMS sendiri namun dengan
kualitas keilmuan dan gengsi di bawahnya. Menjadi guru toh merupakan jenjang
kepriyayian yang dicita-citakan meski berada pada posisi terbawah model
birokrasi Kolonial Belanda.
Pada aspek materi, jelas
sekali ada perbedaan yang cukup mendasar antara jenjang pendidikan HIS, MULO,
dan AMS. Namun ada kesamaan di antara jenjang yang berbeda tersebut yaitu
materi kebangsaan Belanda yang tercermin dalam pelajaran sejarah, ilmu budaya,
civic education, dan bahasa. Semua ilmu ini merupakan bagian dari propaganda
Belanda agar masyarakat memperoleh kesadaran berbangsa dan loyalitas terhadap
eksistensi ratu Belanda. Adapun kelebihan pendidikan masa Kolonial Belanda
adalah aspek kualitasnya yang terjamin. Hal ini
terlihat pada standar input, proses, pembiayaan, sarana-prasarana, dan standar
lulusan setiap tahunnya. Pada standar input jelas sekali dapat terlihat
kualitas siswa yang masuk. Mereka yang tercatat sebagai siswa tidak hanya
berlatar belakang sosial yang tinggi, namun juga proses seleksi intelektual
menjadi sebuah ukuran yang mutlak. Pada standar proses, terlihat bahwa
kelas dengan jumlah siswa yang kecil, maksimal 25 siswa menjadi ruang yang
penuh mekanisme pengawasan, pembinaan, dan pengajaran yang sangat optimal.
Apalagi dengan guru-guru yang menguasai ilmu mengajar yang mumpuni, tanggung
jawab dan dedikasi yang sepenuhnya, serta pola pengajaran searah namun keras
dan penuh disiplin, tentu saja akan melahirkan jalannya kegiatan belajar yang
efektif bagi pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar.Pada standar pembiayaan,
jelas bahwa adanya siswa yang mayoritas berasal dari kalangan bangsawan tinggi
akan memberikan sokongan dan dukungan dana bagi pengembangan sekolah. Mereka
yang kaya akan berusaha memberikan partisipasi dana yang maksimal agar
anak-anaknya bisa sukses di sekolah.
Adanya dukungan dana dari
orang tua dan statusnya sebagai sekolah negeri sudah pasti menjadikan sarana
dan prasarana lebih lengkap. Perpustakaan dengan buku-buku berbahasa Belanda
dan Inggris menjadi koleksi utama semua sekolah dari HIS sampai dengan
HBS.Semuanya yang sudah dijelaskan di atas pada akhirnya akan bermuara pada
kualitas lulusannya yang hebat dan mumpuni di bidangnya. Konon, saking hebatnya
lulusan AMS maka banyak orang yang mengatakan bahwa kualitasnya sama dengan
lulusan S-2 jaman sekarang.
C. Pendidikan di Zaman Pendudukan Jepang
Didorong semangat untuk
mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia
Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina,
Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan
Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara
sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya)
dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis ini pun menargetkan
Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan
konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola
pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini.
Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang
sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan
Pasifik.
Setelah Februari 1942
menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya
memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian
menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas
terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara
lain:
1. Dijadikannya Bahasa
Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa
Belanda;
2. Adanya integrasi sistem
pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di
era penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada masa
pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
1.
Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat).
Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama
yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di
masa Hindia Belanda.
2.
Pendidikan Lanjutan.
Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah
Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi)
juga dengan lama studi 3 tahun.
3. Pendidikan Kejuruan.
Mencakup sekolah lanjutan
bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan,
teknik, dan pertanian.
4. Pendidikan Tinggi.
Guna memperoleh dukungan
tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera (Pusat Tenaga
Rakyat) di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas
Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple
Movement yang tidak menyertakan wakil
tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian.
Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang
pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi
pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang
menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka
mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal.
Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada
indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan
dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang
diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu
melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan
tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain:
1. Indoktrinasi ideologi Hakko
Ichiu;
2. Nippon Seisyin, yaitu
latihan kemiliteran dan semangat Jepang;
3. Bahasa, sejarah dan
adat-istiadat Jepang;
4. Ilmu bumi dengan perspektif
geopolitis; serta
5. Olaharaga dan nyanyian
Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan.
Jepang mewajibkan bagi
setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini:
1. Menyanyikan lagu kebangsaan
Jepang, Kimigayo setiap pagi;
2. Mengibarkan bendera Jepang,
Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi;
3. setiap pagi mereka juga
harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya;
4. Setiap pagi mereka juga
diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang;
5. Melakukan latihan-latihan
fisik dan militer;
6. Menjadikan bahasa Indonesia
sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga
wajib diajarkan.
Setelah menguasai
Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa
Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya.
Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China
kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino
Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan
penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain
memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam
Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah
yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang
juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan
kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi
kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi
Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini
menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat
dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap
pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:
(1) Mengubah Kantor Voor Islamistische Zaken
pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin
tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari.
(2) Di daerah-daerah
dibentuk Sumuka( Pondok pesantren) sering mendapat kunjungan dan bantuan
pemerintah Jepang.
(3) Mengizinkan pembentukan
barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda
Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin.
(4) Mengizinkan berdirinya
Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar
Muzakkir dan Bung Hatta.
(5) Diizinkannya ulama dan
pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan
menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan dan
(6) Diizinkannya Majelis
Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan
diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua
ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU.
Lepas dari tujuan semula
Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal
ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya
kemerdekaan.
D. Pendidikan Masa Indonesia Merdeka
Pada dasarnya pendidikan
pada masa Indonesia Merdeka tak jauh dengan sistem persekolahan hasil kebijakan
pendudukan Jepang di atas. Pada masa ini, kualitas pendidikan masih dikatakan
stabil dengan kurikulum mencomot dari apa yang dilakukan penguasa Jepang
terhadap rakyat Indonesia. Hanya saja, karena persoalan revolusi yang belum
selesai dan kemelut politik yang terus-menerus, maka sektor pendidikan menjadi
korban kebijakan politik. Pendidikan mengalami sedikit pengabaian. Pendidikan
di tingkat atas agak diabaikan sementara oleh pemerintah Indonesia
sendiri.
Pada masa awal kemerdekaan
ini, guru-guru bekas pengajar pada masa kolonial Belanda dipekerjakan kembali
meskipun dengan gaji yang lebih kecil. Kondisi yang berubah membuat mereka
tidak terbiasa dengan keadaan. Banyak dari mereka yang masih menerapkan pola
pengajaran ketat dan disiplin ala Belanda, sehingga cenderung menghasilkan
setidaknya mutu lulusan yang sama dengan masa Kolonial Belanda.
Pada masa Orde Baru,
pendidikan mengalami perubahan yang cukup signifikan. Agar bangsa Indonesia
memiliki kualitas pendidikan yang sama dengan negara-negara maju lainnya, maka
secara kuantitas dibangunlah semua sarana pendidikan di setiap daerah. Alhasil,
sekolah begitu banyak berdiri di tanah air. Secara kuantitatif pendidikan
mengalami perkembangan yang pesat. Setiap anak dapat bersekolah dengan mudah.
Namun di sisi lain, kualitas tidak bisa terjaga dengan baik. Kekurangan guru
yang baik menjadi problematika pemerintah Indonesia. Sekolah Pendidikan Guru
yang berdiri pada awal kemerdekaan tidak cukup menyediakan lulusannya yang siap
pakai. Jumlah sekolah melebihi kapasitas guru yang ada. Akibatnya, pemerintah
mengambil jalan pintas. Semua lulusan setingkat SLTA diperbolehkan menjadi guru
meski mereka tidak memiliki kemampuan dan ketrampilan sebagai guru yang
layak.
Di daerah-daerah, terjadi
kemerosotan pendayagunaan sarana dan prasarana. Artinya terjadi jurang pemisah
yang sangat tajam antara sekolah desa dengan sekolah di pusat perkotaan.
Sekolah desa hanya mengandalkan kebijakan pusat yang bersifat proyek.
Pembangunan ruang kelas berhasil, namun penyediaan sarana dan prasarana lainnya
tidak mendukung. Sementara itu, sekolah perkotaan dengan bantuan orang tua
siswa dan akses yang mudah pada pemerintah pusat mendapatkan bantuan buku-buku
perpustakaan dan sarana pendukung lain yang baik.
Pada masa ini, kualitas
lulusan siswa tidak sebanding dengan perkembangan sarana pendidikan di
Indonesia. Sekolah begitu banyak namun tingkat kualitasnya mengalami penurunan
bila dibandingkan dengan periode sebelumnya. Agaknya beban kurikulum yang
terlalu lebar tidak sepadan dengan kemampuan kognitif siswa yang harus menyerap
semua informasi dan pengetahuan.
Di sisi lain, perubahan
kurikulum terjadi hampir setiap 10 (sepuluh) tahun. Kurikulum 1978 diganti
dengan munculnya kurikulum 1984. Kurikulum 1984 diganti dengan kurikulum 1994.
Demikian pula kurikulum 1994 mengalami beragam tambahan yang dibuktikan dengan
adanya suplemen 1994.
Agaknya perubahan kurikulum
tersebut dilaksanakan karena terkait dengan perkembangan jaman. Tuntutan
perbaikan kualitas dan juga kepentingan politik tertentu melahirkan
kebijakan-kebijakan yang sarat dengan kepentingan ideologi. Contohnya adalah
pemberlakuan materi PSPB pada kurikulum 1984 yang sarat dengan muatan ideologis
dan politis. Demikian pula salah satu syarat kenaikan kelas seorang siswa harus
mendapatkan nilai minimal 6,0 dengan skala 1 sampai dengan 10 pada nilai
raport. Jika nilai dibawah itu, maka siswa tidak dapat naik kelas meskipun
pelajaran lain mendapat 9 (sembilan).
Pada masa pemberlakuan
kurikulum 1984 ini model pembelajaran yang sangat terkenal adalah CBSA atau
Cara Belajar Siswa Aktif di mana guru memberikan peluang dan respon bagi siswa
yang memang memiliki kecerdasan dan kepintaran. Sistem ini dipergunakan untuk
merubah model pengajaran yang kaku dan statis seperti yang dilaksanakan pada
masa sebelumnya.
Pendidikan Masa Reformasi ,
jelas sekali kebijakan yang dihasilkan terkait dengan aspek politik dan
ekonomi. Munculnya suplemen 1999 juga dalam rangka kepentingan politik yang
mendasarinya. Namun semenjak penataran P-4 (Eka Prasetya Pancakarsa)
ditiadakan maka dunia pendidikan dikembalikan pada posisi yang
semestinya.
Pada tahun 2004 mulai
diberlakukan kebijakan kurikulum baru. Kurikulum berbasis kompetensi menjadi
jawaban atas perkembangan jaman. Kurikulum ini berusaha untuk memberikan solusi
atas perubahan jaman dan globalisasi yang melanda dunia mana saja.
Namun demikian, dunia
pendidikan bukan berarti lepas dari persoalan yang ada. Pembaharuan kurikulum
ternyata tidak diimbangi dengan manajemen dan kebijakan baru dalam menjaga mutu
dan kualitas lulusan. Ujian nasional dengan pemberlakuan standar nilai yang
dilakukan secara terpusat telah memberangus standar proses yang seharusnya
menjadi titian utama kurikulum 2004.
Di sisi lain, masalah
kesejahteraan guru menjadi satu faktor yang belum dituntaskan pada masa
reformasi ini. Kesejahteraan guru mulai diperhatikan ketika era Presiden
Abdurrahman Wahid menaikkan gaji guru hingga sama dengan pegawai negeri
lainnya. Pada akhirnya era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kesejahteraan
guru dan anggaran pendidikan 20% disahkan melalui undang-undang guru dan dosen
serta sistem pendidikan nasional. Sertifikasi guru dilaksanakan secara
menyeluruh dengan konsekuensi guru mendapatkan penghasilan tambahan sebesar
satu kali gaji pokok.
Kurikulum 2006 akhirnya
diberlakukan pula dalam menekankan makna keberfungsian semangat kompetensi dan
kepentingan lokal. Tidak hanya itu saja, pemerintah juga memberikan subsidi
dana bagi sekolah dari tingkat dasar sampai SLTP lewat Dana Bos. Di samping
itu, pemerintah memberlakukan MBS sebagai model manajemen sebuah sekolah yang
efektif dan efisien. Pemerintah pula memilah dan mencoba memberikan kriteria
bagi upaya peningkatan kualitas sekolah secara utuh. Kriteria SSN, akselerasi,
imersi, RSKM, SKM, RSBI, dan SBI menjadi sesuatu yang lazim ada situasi
persekolahan saat ini.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pergantian era kekuasaan
sangat mempengaruhi model dan kebijakan pendidikan yang dihasilkan. Pendidikan
memang tidak bisa terlepas dari situasi politik sebuah bangsa. Pemerintah
Kolonial Belanda menjadikan pendidikan sebagai sarana memperoleh tenaga kerja
di bidang administrasi tingkat rendahan. Pendidikan tingkat lanjut hanya
diprioritaskan pada kalangan bangsawan semata.
Pada masa Jepang,
pendidikan tak lepas dari propaganda Jepang yang disisipkan pada materi
pelajaran dari tingkat SD sampai dengan SLTA. Akibatnya, semua rakyat mengakui
kehebatan dan superioritas Jepang sebagai bangsa maju di kawasan Asia Pasifik.
Mereka melaksanakan apa yang diharapkan Jepang yaitu sebagai serdadu yang siap
maju di medan perang seperti: Romusha, Heiho, dan Peta.
Sebaliknya, pada masa
Indonesia merdeka pendidikan diarahkan sebagai medium pembangkit rasa
nasionalisme. Karena keadaan tertentu, periode ini tidak banyak pengembangan
pendidikan yang bisa diharapkan. Secara kualitas, pendidikan tetap terjaga
mutunya hanya pendirian bangunan sekolah tidak banyak artinya. Pada masa Orde Baru, perubahan kurikulum senantiasa
silih berganti. Perubahan dilaksanakan dalam rangka mengantisipasi kepentingan
global yang berubah. Hal ini pun masih dilanjutkan dengan pergantian kurikulum
pada era reformasi. Kurikulum 2006 merupakan alternatif terakhir dari bangunan
kurikulum dalam sejarah Indonesia. Artinya, pemerintah tetap belajar dari
pengalaman. Lintasan pendidikan yang berusia cukup tua pada akhirnya
menghasilkan kebijakan yang penuh nuansa keberpihakan pada esensi pendidikan
itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Jalaludin, 1990. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Kalam Mulia.
Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai.
Tilaar, H.A.R. 1995. 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia 1945-1995.
Jakarta: Gramedia Widiasarana.
Zaenuddin, 2008.
Reformasi Pendidikan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.